Perjalanan paling jauh yang pernah saya lakukan sebelum harus ke Samarinda dulu adalah ke Yogyakarta. Itu pun bukan sengaja jalan sendiri ke sana, melainkan bersama teman-teman SMA dalam rangka study tour. Jadilah bisa melihat-lihat Istana Yogyakarta, Malioboro, dan yang lainnya, serta tak lupa ke Candi Borobudur. Waktu itu di Yogyakarta bertepatan dengan penyelenggaraan MTQ tingkat Nasional.
Selain itu praktis tidak ada aktivitas jalan-jalan lainnya. Paling kalau Lebaran ke beberapa tempat wisata yang dekat, Kebun Raya Bogor, Kebun Binatang Bandung, atau Ciater. Biasanya naik truk bak terbuka, yang isinya kadang sampai hampir tumpah ruah. Maklum lah waktu itu situasi dan kondisi tidak mendukung.
Maka perjalanan ke Samarinda menjadi sebuah perjalanan terjauh sekaligus dalam rangka tugas negara untuk bekerja di manapun di seluruh wilayah negeri tercinta. Perjalanan yang waktu itu harus tepat waktu karena tiket sudah diberikan untuk tanggal sekian harus berangkat. Padahal ternyata tiket yang sudah ada itu bisa saja di-cancel kalau mau. Tetapi waktu itu boro-boro tahu segala cancel meng-cancel tiket, naik pesawat saja belum pernah.
Bisik-bisik tentang pembagian tiket yang langsung dibelikan waktu itu juga muncul. Katanya karena ada kerabat pejabat yang memiliki travel agent, jadi dibelikan di situ. Pesawatnya juga sama semua, Simpati Air, yang waktu itu merajai angkasa raya Indonesia. Yang belakangan ternyata bermasalah dan langsung menghilang dari peredaran. Wah jadi ngegosip.
Singkat cerita, setelah perjalanan sekitar dua jam dari Balikpapan melewati perkampungan dan lebih banyaknya lagi hutan, sampai juga di Samarinda. Salah satu hutan yang dilewati ada satu hutan konservasi yang namanya Bukit Suharto. Hutannya lumayan lebat juga kalau dilihat di sepanjang pinggir jalan. Bisik-bisik lagi, katanya, yang lebat hanya yang dipinggir jalan saja. Jika dilihat lebih ke dalam lagi, gundul, wallahu a’lam.
Ternyata benar kadang-kadang kabar itu jauh panggang dari api. Kekhawatiran yang macam-macam tentang Samarinda, yang katanya masih hutan, susah angkutan, susah cari barang keperluan sehari-hari, penduduknya belum maju, buyar semua. Meskipun kotanya kecil, waktu itu tahun 1995, sebagai ibukota Propinsi Kalimantan Timur, lumayan lengkap fasilitasnya. Dari sisi luas kota dan keramaian kalah dari Balikpapan yang merupakan wilayah kota/ kabupaten (daerah tingkat II) yang bukan ibu kota Propinsi. Memang waktu itu (mungkin sampai sekarang) banyak perkampungan yang terkesan kumuh di pinggiran sungai. Tak apa-apa, namanya juga Kota Tepian. Di Jakarta saja, Ibukota Negara, lebih banyak lagi yang seperti itu.
Sampai di Samarinda, masalah baru muncul, mau tinggal di mana ? Di hotel ? Uang jalan saja sisanya tinggal lima ratus ribu-an. Kontrakan, kost ? juga belum ada. Akhirnya ada senior yang sudah duluan di sana dan siap menampung para pengungsi yang baru datang. Kami pun langsung menuju ke sana dan numpang beberapa hari sambil mencari kontrakan atau tempat kost yang nyaman dan dekat dengan kantor.
Besoknya, setelah bersiap-siap dan berpakaian ala kantoran, berangkatlah ke kantor baru dengan segenap perasaan yang tak tahu bagaimana bentuknya. Walaupun dulu pernah PKL, tapi hanya beberapa hari dan itu pun kebanyakan jalan-jalannya dan main-mainnya. Yang sebelumnya biasanya magang dulu di kantor pusat, jadi sedikit banyak tahu lah bagaimana sih ngantor. Tapi gak apa-apa, siap tempur saja dengan segala kondisi yang ada.
Lapor, menghadap Kepala Kantor. Ternyata belum datang, katanya biasanya datangnya paling jam sembilan atau jam sepuluh, alamak. Kami berlima masuk kantor ini. Memang kantor pertama saya waktu itu kata orang kantor yang kurang jelas. Tak tahu apanya yang kurang jelas. Plesetannya saja Kerja Terus Untuk Apa (???). Setelah Sang KK datang, barulah melapor dan diberi arahan ini dan itu, biasalah. Ternyata beliau seorang yang eksentrik, bahkan kata orang-orang di situ termasuk slebor juga. Kadang-kadang suka melawan instansi vertikal di atasnya. Wah, seru nih.
Kami pun dibagi tugas dan langsung hari itu diberi arahan tentang tugas yang harus dikerjakan serta tak lupa berkenalan dengan para karyawan-karyawati di situ. Saya satu Seksi dengan si Harat, Tatak, Ikoer, dan Jejen sendiri-sendiri di Seksi yang lain. Di situlah bertemu dengan Cak Irul, senior yang juga Ustadz kocak. Sekarang dia di Jakarta.
Demikianlah hari-hari pertama diisi dengan perkenalan, dengan pekerjaan baru, teman-teman kantor baru, suasana baru, lingkungan baru, dan lain-lain yang semuanya baru. Tinggal masih numpang sambil mencari tempat kost atau kontrakan yang pas, tempat dan harganya.
Ada satu pengalaman waktu numpang tinggal di sana. Suatu ketika datang senior yang kayaknya angkatan lama berkunjung ke sana. Dia datang bawa mobil sedan bro, bagus, mengkilap. Apa mereknya gak tahu. Mana tahu yang gituan, orang kampung. Sebentar di situ bicaranya tak terjangkau. Beberapa kali dia ngomong sendiri tak tahu dengan siapa. Dia pake henpon. Itu tahun 1995 lho, penghasilan saya saja waktu itu sekitar 400 ribuan. Yang bersangkutan adalah salah satu aparat instansi yang bertugas mengumpulkan pemasukan buat negara. Prihatin.
No comments:
Post a Comment